Apa pentingnya
sekolah kalau berakhir menjadi pengangguran? Sejak dini, orang tua berbondong-bondong memasukkan anak mereka pada
sekolah-sekolah favorit demi masa depan sang anak. Kegemilangan masa depan
menurut pandangan seperti itu diukur dari tingkat pendidikan. Artinya semakin
tinggi sekolahnya maka berpengaruh besar terhadap peningkatan pendapatan. Anak
berlomba-lomba berkompetisi, namun sayangnya hanya menghadirkan prestasi otak,
bukan watak. Namun kita patut berbangga dengan banyak kemenangan prestatif pada
berbagai olimpiade internasional yang berbau akademis namun mendapat sambutan
dingin dari bapak daerah, tidak seperti kemenangan audisi menyanyi yang
dilangsungkan di televisi yang sangat disambut hangat.
Begitu banyak
deviasi terjadi seusai sekolah selesai. Jelas, sekolah tidak mampu menjawab
berbagai ragam permasalahan bangsa karena ruh belajar berbentuk persekolahan
sudah seperti komoditas yang bertulang materialisme. Persoalannya hanya karena
sekolah telah menjadi pengertian stereotip, bukan suatu stigma kental dalam
alam pikiran masyarakat. Kata Roem “Lalu, mengapa ia mesti dibebani dengan
sejuta keharusan dan pembatasan yang malah makin mempersempit ruang gerak,
wawasan, dan dinamikanya.” Selain itu, kalau anak-anak sekolah kumpul kebo,
tawuran, menghisap ganja, berbuat kriminal, menjarah bus kota, salah siapa ?
Kalau banyak sarjana lulusan sekolah tertinggi lantas larut jadi koruptor dan
tukang peras rakyat kecil, salah siapa?
Pertanyaan-pertanyaan
tadi adalah upaya mengevaluasi apa yang sudah dihasilkan sekolah selama ini.
Apakah sekolah memang tak lebih dari suatu ilusi, semacam obsesi kehidupan
kemasyakatan yang semu? Pengibaratannya sama seperti Tuyul yang diyakini
keberadaannya namun tidak seorang pun yang mampu menghadirkannya secara kasat
mata di hadapan banyak orang.
Tepat, kalau
InsistPress mengkategorikan pamflet Ilichian ala Roem ini sebagai tulisan yang
subversif karena menggugat kemapanan sistem pendidikan yang sudah berlangsung
kurang lebih 20 tahun lalu. Kecermatannya membaca “pasar”—kalau boleh dibilang—
terlihat dari latar untuk memulai membaca karyanya yang berlatar tahun 2222.
Pandangan jauh ke depan (futuristis) adalah persoalan yang rumit dan njelimet,apakah
Roem sadar sudah membuat waktu yang terlampau panjang, prediksi yang belum
terpikirkan orang sebelumnya? Disinilah karya Roem menjadi fenomenal, tidak
sensasional, sekaligus revolusioner dengan satu kata yang sebenarnya
‘biasa-biasa saja’ yakni sekolah. Itulah judul amaram resmi yang ditemukan
Sukardal—tokoh tunggal-fiksional—di Museum Bank Naskah Nasional yang tidak lain
adalah pembuka untuk memulai petualangan membaca buku ini.
Pada awal
tulisan berjudul “Sekolah: Dari Athena ke Cuernavaca”, penulis menyodorkan
hakikat sekolah yang sebenarnya. Kata sekolah dalam bahasa aslinya berasal dari
kata skhole, scola, scolae, atau schola (Latin) yang berarti
(harfiah) ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Dikisahkan bahwa penyempitan
kata sekolah itu pada akhirnya juga berpengaruh terhadap tumbuh-kembangnya
‘waktu senggang” yang terlembagakan. Evolusi kata sekolah sekarang ini pada
akhirnya cenderung hanya digunakan untuk mereka yang terlibat dalam suatu
sistem, lembaga, dengan segenap kelengkapan perangkatnya. Penyempitan kata
sekolah itu sungguh menggelisahkan dan penulis menyegarkan kembali dengan
kupasan-kupasan historik (konteks kesejarahannya) menjadi hal fundamen untuk
melacak hakikat pendidikan yang sesungguhnya.
Itulah yang
dikupas lagi pada tulisan berikutnya “Sekolah Disana-sini” bahwa kata ‘sekolah’
dalam bahasa-bahasa kontinental dapat berarti suatu ‘aliran pemikiran’ (school
of thought) tertentu. Disini penulis mencontohkan Sekolah Frankfurt yang
merupakan paguyuban ilmiah para pakar ilmu-ilmu sosial aliran garda depan dari
mazhab teori kritis rintisan Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang sangat
berpengaruh pada pemikiran-pemikiran alternatif di zaman modern ini. Hollywood,
biangnya kapitalisme pun turut menyumbang peran menterjemahkan kata sekolah
melalui Akademi Ilmu dan Seni Gambar-Hidup (Academy of Motion Picture Arts
& Sciences) yang beranggotakan ratusan orang yang bertugas menguji dan
membanding-bandingkan hasil pengamatan dan penilaian mereka terhadap
karya-karya film yang patut menerima gelar tertinggi dari akademi yakni Hadiah
Oscar.
Tidak sampai di
situ, penulis juga membentangkan berbagai contoh nyata terjadinya pembubaran
secara tidak resmi ‘sekolah yang membeda.’Adalah Sekolah Tinggi Wiraswasta yang
pernah hidup selama tiga tahun (1979-1981). Sekolah yang ada di kawasan Pondok
Gede (Jakarta Timur) itu tidak ada yang meminati baik siswa, orang tuanya,
bahkan sponsor-sponsor pun cenderung menghindari sekolah macam ini. Lebih
parahnya, yayasan induk pengelolanya baru mau melanjutkan kehidupan sekolah
jika didaftarkan secara resmi ke Direktorat Perguruan Tinggi Swasta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dengan menanggung konsekuensi menjalankan semua
ketentuan-ketentuan mapan pada umumnya. Kesimpulan untuk mendekontruksi sekolah
semakin nyata dalam tulisan akhir ”Sekolah: Dari Analogi ke Alternatif”, Roem
membuat simpulan ”Jadi, keberadaan lembaga sekolah adalah suatu keabsahan yang
nisbi benar. Artinya ia tetap absah pula untuk diragukan dan digugat….”.
Lanjutnya ”..alternatif juga bisa berarti sesuatu yang amat sangat berbeda:
tidak sekadar memperbaiki, meningkatkan, menyesuaikan, menambal sulam, tap juga
meniadakan, menafikan, mengubah, atau menggantinya sama sekali dengan sesuatu
yang benar-benar baru dan membaharu.”
Buku ini memang
tidak begitu tebal, cocok untuk kebanyakan mahasiswa yang masih bergelisah
karena ketidakjelasan muram dan suram masa depannya. Dengan menyusuri ‘jalan’ belajar ala
Roem maka akan kita temui berbagai keterangan-keterangan yang paradigmatif,
mendasar, dan beralasan tentang hakikat sekolah yang sesungguhnya dan bagaimana
seharusnya sekolah yang “benar.” Membaca tulisan-tulisan Roem yang sudah tua
karena ditulis pada dekade 80-an, namun belum kadaluarsa, bahkan sangat relevan
menjadi perbincangan kembali, pengintrepretasian ulang terhadap wacana-wacana
subversif-mencerahkan ini.
Bisa jadi, buku
ini sangat pas dibaca oleh para pakar pendidikan, praktisi, penyelenggara
sekolah, kalangan terpelajar bahkan sampai orang biasa karena gaya tulisan yang
ringkas, padat-berisi, sekaligus seksis dapat dinikmati siapapun juga yang
pernah menjadi anak sekolah atau tidak sekolah sama sekali.
Sedikit
mengkritisi sampul buku mungkin masih kurang eye cacthing. Untungnya
kekurangan itu dilengkapi dengan berbagai ilustrasi atau gambar-gambar sebagai
representasi tulisan Roem. Tidak hanya itu, ‘hidangan’ buku ini pun makin
bertambah segar karena penulis memberi bonus dengan menyisipkan satu cakram
digital berisi kedua esei visual (‘Sekolah Anak-anak Laut’ dan ‘Jalan Sekolah’)
yang dapat dijalankan langsung (auto run) pada komputer. Jadi membaca
tulisan Roem, bukan hanya membaca tapi juga menonton!!!
(sumber buku: karya Roem Topatimasang,
Insist Press)
(editor :
syaiful)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar